Selasa, 26 April 2016

Hukum Dagang


Aspek Hukum Dalam Ekonomi
HUKUM DAGANG
 
 

I.             PENDAHULUAN
Hukum dagang ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lainnya, khusunya dalam perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus. Pada mulanya kaidah hukum yang kita kenal sebagi hukum dagang saat ini mulai muncul dikalangan kaum pedagang sekitar abad ke-17. Kaidah-kaidah hukum tersebut sebenarnya merupakan kebiasaan diantara mereka yang muncul dalam pergaulan di bidang perdagangan. Ada beberapa hal yang diatur dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Jika demikian adanya, ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata merupakan lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogat lex generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).

Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
           
a.    Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
o   Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
o   Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)

b.    Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan :
Peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T.Kansil,1985:7).

Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seirinbg berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).


II.           TEORI

1.   Hubungan Antara Hukum Dagang dengan Hukum Perdata
Hukum Dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan .
             Hukum Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.
              Hukum perdata merupakan hukum umum (lex generalis) dan hukum dagang merupakan hukum khusus (lex specialis). Dengan diketahuinya sifat dari kedua kelompok hukum tersebut, maka dapat disimpulkan keterhubungannya sebagai lex specialis derogat lex generalis, artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Adagium ini dapat disimpulkan dari pasal 1 Kitab undang-Undang Hukum Dagang yang pada pokoknya menyatakan bahwa: “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seberapa jauh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang disinggung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Hubungan antara KUHD dengan KUH perdata adalah sangat erat, hal ini dapat dimengerti karena memang semula kedua hukum tersebut terdapat dalam satu kodefikasi. Pemisahan keduanya hanyalah karena perkembangan hukum dagang itu sendiri dalam mengatur pergaulan internasional dalam hal perniagaan.
Hukum Dagang merupakan bagian dari Hukum Perdata, atau dengan kata lain Hukum Dagang meruapkan perluasan dari Hukum Perdata. Untuk itu berlangsung asas Lex Specialis dan Lex Generalis, yang artinya ketentuan atau hukum khusus dapat mengesampingkan ketentuan atau hukum umum. KUHPerdata (KUHS) dapat juga dipergunakan dalam hal yang daitur dalam KUHDagang sepanjang KUHD tidak mengaturnya secara khusus.


2.   Hubungan Pengusaha dengan Pembantu Pengusaha
Pengusaha adalah seseorang yang melakukan atau menyuruh melakukan perusahaannya.

            Dalam menjalankan perusahannya pengusaha dapat:
 a. Melakukan sendiri, Bentuk perusahaannya sangat sederhana dan semua pekerjaan dilakukan sendiri, merupakan perusahaan perseorangan.
b. Dibantu oleh orang lain, Pengusaha turut serta dalam melakukan perusahaan, jadi dia mempunyai dua kedudukan yaitu sebagai pengusaha dan pemimpin perusahaan dan merupakan perusahaan besar.
c. Menyuruh orang lain melakukan usaha sedangkan dia tidak ikut serta dalam melakukan perusahaan,
Hanya memiliki satu kedudukan sebagai seorang pengusaha dan merupakan perusahaan besar.

            Sebuah perusahaan dapat dikerjakan oleh seseorang pengusaha atau beberapa orang pengusaha dalam bentuk kerjasama. Dalam menjalankan perusahaannya seorang pengusaha dapat bekerja sendirian atau dapat dibantu oleh orang-orang lain disebut “pembantu-pembantu perusahaan”. Orang-orang perantara ini dapat dibagi dalam dua golongan. Golongan pertama terdiri dari orang-orang yang sebenarnya hanya buruh atau pekerja saja dalam pengertian BW dan lazimnya juga dinamakan handels-bedienden. Dalam golongan ini termasuk, misal pelayan, pemegang buku, kassier, procuratie houder dan sebagainya. Golongan kedua terdiri dari orang-orang yang tidak dapat dikatakan bekerja pada seorang majikan, tetapi dapat dipandang sebagai seorang lasthebber dalam pengertian BW. Dalam golongan ini termasuk makelar, komissioner.

            Namun, di dalam menjalankan kegiatan suatu perusahaan yang dipimpin oleh seorang pengusaha tidak mungkin melakukan usahanya seorang diri, apalagi jika perusahaan tersebut dalam skala besar. Oleh karena itu diperlukan bantuan orang/pihak lain untuk membantu melakukan kegiatan-kegiatan usaha tersebut.
            Pembantu-pembantu dalam perusahaan dapat dibagi menjadi 2 fungsi :
 a. Membantu didalam perusahaan
b. Membantu diluar perusahaan

Adapun pembantu-pembantu dalam perusahaan antara lain:
a. Pelayan toko
b. Pekerja keliling
c. Pengurus filial.
d. Pemegang prokurasi
e. Pimpinan perusahaan 
Hubungan hukum antara pimpinan perusahaan dengan pengusaha bersifat :
 a. Hubungan perburuhan, yaitu hubungan yang subordinasi antara majikan dan buruh, yang memerintah dan yang diperintah. Manager mengikatkan dirinya untuk menjalankan perusahaan dengan sebaik-baiknya, sedangkan pengusaha mengikatkan diri untuk membayar upahnya (pasal 1601 a KUHPER).
b. Hubungan pemberian kekuasaan, yaitu hubungan hukum yang diatur dalam pasal 1792 dsl KUHPER yang menetapkan sebagai berikut ”pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan”. Pengusaha merupakan pemberi kuasa, sedangkan si manager merupakan pemegang kuasa. Pemegang kuasa mengikatkan diri untuk melaksakan perintah si pemberi kuasa, sedangkan si pemberi kuasa mengikatkan diri untuk memberi upah sesuai dengan perjanjian yang bersangkutan.
Dua sifat hukum tersebut di atas tidak hanya berlaku bagi pimpinan perusahaan dan pengusaha, tetapi juga berlaku bagi semua pembantu pengusaha dalam perusahaan, yakni: pemegang prokurasi, pengurus filial, pekerja keliling dan pelayan toko. Karena hubungan hukum tersebut bersifat campuran, maka berlaku pasal 160 c KUHPER, yang menentukan bahwa segala peraturan mengenai pemberian kuasa dan mengenai perburuhan berlaku padanya. Kalau ada perselisihan antara kedua peraturan itu, maka berlaku peraturan mengenai perjanjian perburuhan (pasal 1601 c ayat (1) KUHPER.

            Adapun pembantu-pembantu luar perusahaan antara lain:
a. Agen perusahaan
Hubungan pengusaha dengan agen perusahaan adalah sama tinggi dan sama rendah, seperti pengusaha dengan pengusaha. Hubungan agen perusahaan bersifat tetap. Agen perusahaan juga mewakili pengusaha, maka ada hubungan pemberi kuasa. Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Bab XVI, Buku II, KUHPER, mulai dengan pasal 1792, sampai dengan 1819. Perjanjian bentuk ini selalu mengandung unsur perwakilan (volmacht) bagi pemegang kuasa (pasal 1799 KUHPER). Dalam hal ini agen perusahaan sebagai pemegang kuasa, mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama pengusaha.
b. Perusahaan perbankan
c. Pengacara
d. Notaris
e. Makelar
f. Komisioner

3.   Kewajiban Pengusaha
Pengusaha adalah setiap orang yang menjalankan perusahaan.
Menurut undang-undang, ada dua kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengusaha, yaitu :

1.    Membuat pembukuan
Pasal 6 KUH Dagang, menjelaskan makna pembukuan yakni mewajibkan setiap orang yang menjalankan perusahaan supaya membuat catatan atau pembukuan mengenai kekayaan dan semua hal yang berkaitan dengan perusahaan, sehingga dari catatan tersebut dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak.

            Selain itu, di dalam Pasal 2 Undang-Undang No.8 tahun 1997, yang dimaksud dokumen perusahaan adalah :
a. Dokumen keuangan
Terdiri dari catatan, bukti pembukuan, dan data administrasi keuangan yang merupakan bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha suatu perusahaan

b. Dokumen lainnya
Terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan, meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen keuangan.

2.    Mendaftarkan Perusahaan
Dengan adanya Undang-Undang No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan maka setiap orang atau badan yang menjalankan perusahaan menurut hukum wajib untuk melakukan pendaftaran tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan usahanya sejak tanggal 1 Juni 1985.

            Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, yang dimaksud daftar perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini atau peraturan pelaksanaannya, memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan, dan disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan.

            Pasal 32-35 Undang-Undang No.3 tahun 1982 merupakan ketentuan pidana, sebagai berikut :
a. Barang siapa yang menurut undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya diwajibkan mendaftarkan perusahaan dalam daftar perusahaan yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya tidak memenuhi kewajibannya diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

b.  Barang siapa melakukan atau menyuruh melakukan pendaftaran secara keliru atau tidak lengkap dalam daftar perusahaan diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). 

      
III.         ANALISIS
 Hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Hukum perdata diatur dalam KUH Perdata dan Hukum Dagang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Kesimpulan ini sekaligus menunjukkan bagaimana hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perdata merupakan hukum umum (lex generalis) dan hukum dagang merupakan hukum khusus (lex specialis). Dengan diketahuinya sifat dari kedua kelompok hukum tersebut, maka dapat disimpulkan keterhubungannya sebagai lex specialis derogat lex generalis, artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Adagium ini dapat disimpulkan dari pasal 1 Kitab undang-Undang Hukum Dagang yang pada pokoknya menyatakan bahwa: “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seberapa jauh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang disinggung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.


IV.        REFERENSI


HUKUM PERJANJIAN

Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Hukum Perjanjian 




I.             PENDAHULUAN
Peranan hukum yang kuat sangat dibutuhkan oleh suatu Negara untuk mewujudkan situasi Negara yang kondunsif dan berkomitmen.Indonesia merupakan salah satu Negara hukum dimana setiap tata cara pelaksanaan kehidupan didalamnya berlandaskan hukum.Mulai dari yang berbentuk tertulis maupun yang berbentuk abstrak.Dan dimana hukum tersebut dijalankan oleh pemerintah dan rakyatnya.
Apa Itu Hukum Perjanjian?
Salah satu bentuk hukum yang berperan nyata dan penting bagi kehidupan masyarakat adalah Hukum Perjanjian.Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat adanya suatu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain.Atau dapat juga dikatan hukum perjanjian adalah suatu hukum yang terbentuk akibat seseorang yang berjanji kepada orang lain untuk melakukan sesuatu hal.Dalam hal ini,kedua belah pihak telah menyetujui untuk melakukan suatu perjanjia  tanpa adanya paksaan maupun keputusan yang hanya bersifat sebelah pihak.


II.           TEORI

1.   Standar Kontrak
adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan).
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman).

2.   Macam-Macam Perjanjian
a.    Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak
Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa,  pemborongan bangunan, tukar-menukar.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain berhak menerima benda yang diberikan itu.
 Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
 Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan  perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah satu syarat adalah pemutusan  perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.

b.    Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Alas Hak yang Membebani
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat  potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan B sejumlah uang, jika B menyerah-lepaskan suatu barang tertentu kepada A.
Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisa berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan pasal 1341 KUHPdt).

c.    Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.

d.    Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator
Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini sebagai  pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan  perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga.
Pentinganya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

e.    Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak,  perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754 KUHPdt).
Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap pembuatan hukum (perjanjian) yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi  persetujuan kehendak serentak ketika itu juga terjdi peralihan hak. Hak ini disebut “kontan atau tunai”.

3.   Syarat Syah Perjanjian
Bagaimana syarat sah suatu perjanjian? Berdasarkan pasal 1320 Kitap Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah secara hukum, yaitu:

o   terdapat kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan kesadaran tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun, sehingga kedua belah pihak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan;
o   kedua belah pihak mampu membuat sebuah perjanjian. Artinya, kedua belah pihak dalam keadaan stabil dan tidak dalam pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan  perjanjian tersebut;
o   terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya, perjanjian tersebut merupakan objek yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan;
o   hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang  benar. Artinya, perjanjian yang disepakati merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan ditujukan kejahatan.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “orang yang sudah dewasa” atau “akilbalig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum.
Dalam pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian : 
o   orang-orang yang belum dewasa 
o   mereka yang ditaruh didalam pengampunan
o   orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. 

Dari sudaut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan “terikat” oleh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampaun untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Dedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat sesuatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaanya, orang tersebut harus seseorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya. 
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah  pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah kekuasaan pengampunnya. Kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh dibawah pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya. 
Menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin(kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 kitab Undang-undang Hukum Perdata). 
Untuk perjanjian-perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukan dalam  pengertian “keperluan rumah tangga” maka dianggaplah istri itu telah dikuasai oleh suaminya. Dengan demikian maka seorang stri dimasukkan dalam golongan orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian. Perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa adalah bahwa seorang anak harus diwakili oleh orang tua/wali, sedangkan seorang istri harus “dibantu” oleh sang suami. Kalau seorang dalam membuat suatu perjanjian “diwakili” oleh orang lain, maka ia tidak membuat perjanjian itu sendiri. Tetapi kalau seorang “dibantu”, ini berarti bahwa ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya itu. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis. 
Dan terdapat syarat perjanjian objektif dan subjektif. Dalam halnya suatu syarat objektif, maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal demi hukum”. Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan  para pihak mengadakan perjanjian tersebut, yakni melahirkan suatu perkaitan hukum adalah gagal. Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut dimuka hakim.
Dalam hal syarat subjektif maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetap salah satu pihka mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu digagalkan. Pihak yang meminta pemnbatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberi kesepakatannya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang dibuatnya itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang meminta pembatalan tadi.
 
Dengan demikian nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.

4.   Pembatalan Perjanjian
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum (null and void). Dalam hal demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada perjanjian dan semula tidak ada perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakin karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya menyatakan tidak ada perjanjian atau perikatan.
 Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, perjanjian ini bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah: pihak yang tidak cakap menurut hukum, dan  pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.
 Tentang perjanjian yang ada kekurangannya mengenai syarat-syarat subjektifnya yang tersinggung adalah kepentingan seseorang, yang mungkin tidaak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya. Oleh karna itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subjektif, oleh Undang-undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya  batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembatalan.

 Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidaak bebas, yaitu:
o   Pemaksaan
Adalah pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan fisik atau badan. 
o   Kehilafan  atau Kekeliruan,
Apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang ini tidak khilaf mengenai hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. 
o   Penipuan
Apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan - keterangan palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik(tipu-muslihat), untuk membujuk para lawannya memberikan perijinan. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.
Dengan demikian maka ketidak-cakapan dan ketidak-bebasan dalam memberikan perijian dalam suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak  bebas dalam memberikan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya harus mengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh meminta  pembatalan. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh Undang-undang diberi perlindungan. Meminta pembatalan oleh pasal 1454 dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibatasi sampai batas waktu tertentu yaitu 5 tahun: dalam hal ketidak- cakapan suatu pihak, sejak orang ini cakap menurut hukum, dalam hal paksaan, sejak hari  paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kehilafan atau penipuan sejak lahir diketahuinya kehilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembela atau tangkisan yang mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian. Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai penggugat meminta kepada hakin untuk mempbatalkan perjanjian. Kedua, menunggu sampai ia diguga dimuka hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut.
 Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada kekecualiannya yaitu, oleh Undang-undang ditetapka suatu formalitas untuk  beberapa macam perjanjian, misalnya perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akte notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara tertentu, dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yag demikian itu tidak memenuhi formalitas akan ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah batal demi hukum.

5.   Prestasi dan Wan Prestasi

a.   Prestasi
Pengertian prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi sama dengan objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.

Menurut Pasal 1234 KUHPerdata wujud prestasi ada tiga, yaitu:
o   Memberikan sesuatu
o   Berbuat sesuatu
o   Tidak berbuat sesuatu.
-          Menurut Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata, pengertian memberikan sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur, contoh : dalam jual beli, sewa-menyewa, hibah, gadai, hutang-piutang.
-          Dalam perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, contoh : membangun rumah / gedung, mengosongkan rumah.
-          Dalam perikatan yang objeknya “tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, contoh : tidak membangun rumah, tidak membuat pagar, tidak membuat perusahaan yang sama, dsb.

Sifat-sifat prestasi adalah sebagai berikut :
o   Harus sudah tertentu dan dapat ditentukan. Jika prestasi tidak tertentu atau tidak ditentukan mengakibatkan perikatan batal (nietig).
o   Harus mungkin, artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur secara wajar dengan segala usahanya. Jika tidak demikian perikatan batal (nietig).
o   Harus diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Jika prestasi itu tidak halal, perikatan batal (nietig).
o   Harus ada manfaat bagi kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan dapat dibatalkan (vernietigbaar).
o   Terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi terdiri dari satu perbuatan dilakukan lebih dari satu, mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar)

b.   Wanprestasi
Pengertian Wanprestasi adalah tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh perikatan.

Faktor yang penyebab wanprestasi ada dua, yaitu :
o   Karena kesalahan debitur, baik yang disengaja maupun karena kelalaian.
o   Karena keadaan memaksa (evermacht), force majeure, jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.

Untuk menentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan wanprestasi, ada tiga keadaan yaitu :
o   Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
o   Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru,
o   Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu atau terlambat.

Untuk memperingatkan debitur agar ia memenuhi prestasinya, maka debitur perlu diberikan peringatan tertulis yang isinya menyatakan debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitur tidak memenuhinya maka debitur dinyatakan wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi : dilakukan melalui Pengadilan Negeri yang berwenang dengan perantaraan Jurusita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitur disertai berita acara penyampaiannya. Dan dapat juga secara tidak resmi : misalnya melalui surat tercatat, telegram atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debitur dengan tanda terima. Surat peringatan ini disebut “ingebreke stelling”.

Akibat hukum bagi debitur yang melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut :
o   Debitur wajib membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPdt).
o   Apabila perikatan timbal balik, kreditur dapat menuntut pembatalan perikatan melalui Hakim (Pasal 1266 KUHPdt).
o   Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPdt).
o   Debitur wajib memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt).

o   Debitur wajib membayar biaya perkara, jika diperkarakan di Pengadilan Negeri dan debitur dinyatakan bersalah.

      
III.         ANALISIS
Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi dari perjanjian-perjanjian tersebut. Menurut pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang. Dengan demikian maka setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-undang, yang terdapat dalam adat kebiasaan, sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus diindahkan.


IV.        REFERENSI