Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Hukum Perjanjian
I.
PENDAHULUAN
Peranan
hukum yang kuat sangat dibutuhkan oleh suatu Negara untuk mewujudkan situasi
Negara yang kondunsif dan berkomitmen.Indonesia merupakan salah satu Negara
hukum dimana setiap tata cara pelaksanaan kehidupan didalamnya berlandaskan hukum.Mulai
dari yang berbentuk tertulis maupun yang berbentuk abstrak.Dan dimana hukum
tersebut dijalankan oleh pemerintah dan rakyatnya.
Apa
Itu Hukum Perjanjian?
Salah satu bentuk hukum yang berperan nyata dan
penting bagi kehidupan masyarakat adalah Hukum Perjanjian.Hukum perjanjian
merupakan hukum yang terbentuk akibat adanya suatu pihak yang mengikatkan
dirinya kepada pihak lain.Atau dapat juga dikatan hukum perjanjian adalah suatu
hukum yang terbentuk akibat seseorang yang berjanji kepada orang lain untuk
melakukan sesuatu hal.Dalam hal ini,kedua belah pihak telah menyetujui untuk
melakukan suatu perjanjia tanpa adanya paksaan maupun keputusan yang
hanya bersifat sebelah pihak.
II.
TEORI
1.
Standar
Kontrak
adalah
perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa
formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan
kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen
(Johannes Gunawan).
perjanjian
yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam
Badrulzaman).
2.
Macam-Macam
Perjanjian
a. Perjanjian
Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak
Perjanjian timbal balik
(bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada
kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian jual-beli,
sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar.
Perjanjian sepihak adalah
perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak
lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban
menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain berhak menerima
benda yang diberikan itu.
Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini
adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi
biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda
tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam
praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266
KUHPdt. Menurut pasal ini salah satu syarat adalah pemutusan perjanjian
itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.
b. Perjanjian
Percuma dan Perjanjian dengan Alas Hak yang Membebani
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya
memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai,
perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membenbani adalah perjanjian
dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra
prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada
hubungannya menurut hukum.
Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain,
tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A
menyanggupi memberikan B sejumlah uang, jika B menyerah-lepaskan suatu barang
tertentu kepada A.
Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisa
berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para
kreditur (perhatikan pasal 1341 KUHPdt).
c. Perjanjian
Bernama dan Tidak Bernama
Perjanjian bernama adalah
perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai
perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa,
tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang
tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
d. Perjanjian
Kebendaan dan Perjanjian Obligator
Perjanjian kebendaan
(zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan
hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini sebagai
pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian
yang menimbulkan perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak dan
kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual
berhak atas pembayaran harga.
Pentinganya pembedaan ini
adalah untuk mengetahui apakah perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai
realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
e. Perjanjian
Konsensual dan Perjanjian Real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul
karna adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah
perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada
penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak,
perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754 KUHPdt).
Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih
menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap pembuatan hukum
(perjanjian) yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan
kehendak serentak ketika itu juga terjdi peralihan hak. Hak ini disebut “kontan
atau tunai”.
3.
Syarat
Syah Perjanjian
Bagaimana syarat sah
suatu perjanjian? Berdasarkan pasal 1320 Kitap Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian
dinyatakan sah secara hukum, yaitu:
o
terdapat kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan
kesadaran tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun, sehingga kedua
belah pihak dapat menunaikan hak
dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan;
o
kedua belah
pihak mampu membuat sebuah perjanjian. Artinya, kedua belah pihak dalam keadaan
stabil dan tidak dalam pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan
perjanjian tersebut;
o
terdapat
suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya, perjanjian tersebut merupakan
objek yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan;
o
hukum
perjanjian dilakukan atas sebab yang benar. Artinya, perjanjian yang
disepakati merupakan niat baik dari kedua belah
pihak dan bukan ditujukan kejahatan.
Orang yang membuat
suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “orang yang
sudah dewasa” atau “akilbalig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum.
Dalam pasal 1330 kitab
Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap
untuk membuat suatu perjanjian :
o
orang-orang yang belum dewasa
o
mereka yang ditaruh didalam pengampunan
o
orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan
pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian tertentu.
Dari sudaut rasa
keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan “terikat” oleh
perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampaun untuk menginsyafi benar-benar akan
tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Dedangkan dari sudut
ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat sesuatu perjanjian itu
berarti mempertaruhkan kekayaanya, orang tersebut harus seseorang yang
sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Orang yang tidak sehat
pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang
yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan
menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada
dibawah kekuasaan pengampunnya. Kedudukannya sama dengan seorang anak yang
belum dewasa. Kalau seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang
tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh dibawah pengampunan harus
diwakili oleh pengampun atau kuratornya.
Menurut kitab
Undang-undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan
suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin(kuasa tertulis) dari suaminya (pasal
108 kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Untuk
perjanjian-perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukan dalam
pengertian “keperluan rumah tangga” maka dianggaplah
istri itu telah dikuasai oleh suaminya. Dengan demikian maka seorang stri dimasukkan
dalam golongan orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian.
Perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa adalah bahwa seorang anak
harus diwakili oleh orang tua/wali, sedangkan seorang istri harus “dibantu”
oleh sang suami. Kalau seorang dalam membuat suatu perjanjian “diwakili” oleh
orang lain, maka ia tidak membuat perjanjian itu sendiri. Tetapi kalau seorang
“dibantu”, ini berarti bahwa ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi
oleh orang lain yang membantunya itu. Bantuan tersebut dapat diganti dengan
surat kuasa atau izin tertulis.
Dan terdapat syarat
perjanjian objektif dan subjektif. Dalam halnya suatu syarat objektif, maka
kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal demi hukum”.
Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah
ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut,
yakni melahirkan suatu perkaitan hukum adalah gagal. Dengan demikian maka tiada
dasar untuk saling menuntut dimuka hakim.
Dalam hal syarat
subjektif maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi
hukum, tetap salah satu pihka mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu
digagalkan. Pihak yang meminta pemnbatalan itu adalah pihak yang tidak cakap
atau pihak yang memberi kesepakatannya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian
yang dibuatnya itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas
permintaan pihak yang meminta pembatalan tadi.
Dengan demikian nasib
sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan
suatu pihak untuk menaatinya.
4. Pembatalan Perjanjian
Dalam syarat-syarat untuk sahnya
suatu perjanjian telah diterangkan bahwa apabila syarat objektif tidak dipenuhi
maka perjanjiannya batal demi hukum (null and void). Dalam hal demikian maka
secara yuridis dari semula tidak ada perjanjian dan semula tidak ada perikatan
antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak
untuk melakukan suatu perjanjian yang mengikat mereka satu sama lain, telah
gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakin
karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya
menyatakan tidak ada perjanjian atau perikatan.
Apabila, pada waktu pembuatan
perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, perjanjian ini bukan
batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (cancelling) oleh salah
satu pihak. Pihak ini adalah: pihak yang tidak cakap menurut hukum, dan
pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang ada
kekurangannya mengenai syarat-syarat subjektifnya yang tersinggung adalah
kepentingan seseorang, yang mungkin tidaak mengingini perlindungan hukum
terhadap dirinya. Oleh karna itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai
syarat subjektif, oleh Undang-undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan
apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi, perjanjian yang
demikian itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan
pembatalan.
Dalam hukum perjanjian ada
tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidaak bebas, yaitu:
o
Pemaksaan
Adalah pemaksaan rohani atau jiwa
(psikis), jadi bukan paksaan fisik atau badan.
o
Kehilafan atau Kekeliruan,
Apabila salah satu pihak khilaf
tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang
penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang
dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan tersebut harus sedemikian rupa,
hingga, seandainya orang ini tidak khilaf mengenai hal tersebut, ia tidak akan
memberikan persetujuannya.
o
Penipuan
Apabila satu pihak dengan sengaja
memberikan keterangan - keterangan palsu atau tidak benar disertai dengan
akal-akalan yang cerdik(tipu-muslihat), untuk membujuk para lawannya memberikan
perijinan. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan
pihak lawannya.
Dengan demikian maka ketidak-cakapan
dan ketidak-bebasan dalam memberikan perijian dalam suatu perjanjian,
memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas
dalam memberikan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya.
Dengan sendirinya harus mengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut
tidak boleh meminta pembatalan. Hak meminta pembatalan hanya ada pada
satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh Undang-undang diberi perlindungan.
Meminta pembatalan oleh pasal 1454 dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibatasi sampai batas waktu tertentu yaitu 5 tahun:
dalam hal ketidak- cakapan suatu pihak, sejak orang ini cakap menurut hukum,
dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal
kehilafan atau penipuan sejak lahir diketahuinya kehilafan atau penipuan itu.
Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan
selaku pembela atau tangkisan yang mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada
dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian. Pertama, pihak yang
berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai penggugat meminta kepada hakin
untuk mempbatalkan perjanjian. Kedua, menunggu sampai ia diguga dimuka hakim
untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Terhadap azas konsensualitas yang dikandung
oleh pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada kekecualiannya yaitu, oleh Undang-undang ditetapka suatu
formalitas untuk beberapa macam perjanjian, misalnya perjanjian
penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akte notaris, perjanjian
perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya.
Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara
tertentu, dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yag demikian itu
tidak memenuhi formalitas akan ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah batal demi hukum.
5.
Prestasi dan Wan Prestasi
a. Prestasi
Pengertian prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi
oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi sama dengan objek perikatan.
Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta
kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua
harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang aka nada, menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur.
Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda
tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata wujud prestasi ada tiga,
yaitu:
o Memberikan
sesuatu
o Berbuat
sesuatu
o Tidak
berbuat sesuatu.
-
Menurut Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata, pengertian memberikan sesuatu adalah
menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur,
contoh : dalam jual beli, sewa-menyewa, hibah, gadai, hutang-piutang.
-
Dalam perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan
perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, contoh : membangun
rumah / gedung, mengosongkan rumah.
-
Dalam perikatan yang objeknya “tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan
perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, contoh : tidak membangun
rumah, tidak membuat pagar, tidak membuat perusahaan yang sama, dsb.
Sifat-sifat prestasi adalah sebagai berikut :
o Harus sudah
tertentu dan dapat ditentukan. Jika prestasi tidak tertentu atau tidak
ditentukan mengakibatkan perikatan batal (nietig).
o Harus
mungkin, artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur secara wajar dengan
segala usahanya. Jika tidak demikian perikatan batal (nietig).
o Harus
diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Jika prestasi itu tidak
halal, perikatan batal (nietig).
o Harus ada
manfaat bagi kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan, menikmati, dan mengambil
hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan dapat dibatalkan (vernietigbaar).
o Terdiri dari
satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi terdiri dari satu
perbuatan dilakukan lebih dari satu, mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar)
b. Wanprestasi
Pengertian Wanprestasi adalah tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh perikatan.
Faktor yang penyebab wanprestasi ada dua, yaitu :
o Karena
kesalahan debitur, baik yang disengaja maupun karena kelalaian.
o Karena
keadaan memaksa (evermacht),
force majeure, jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.
Untuk menentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan wanprestasi, ada
tiga keadaan yaitu :
o Debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali,
o Debitur
memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru,
o Debitur
memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu atau terlambat.
Untuk memperingatkan debitur agar ia memenuhi prestasinya, maka debitur
perlu diberikan peringatan tertulis yang isinya menyatakan debitur wajib
memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitur
tidak memenuhinya maka debitur dinyatakan wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi : dilakukan melalui
Pengadilan Negeri yang berwenang dengan perantaraan Jurusita menyampaikan surat
peringatan tersebut kepada debitur disertai berita acara penyampaiannya. Dan
dapat juga secara tidak resmi : misalnya melalui surat tercatat, telegram atau
disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debitur dengan tanda terima. Surat
peringatan ini disebut “ingebreke
stelling”.
Akibat hukum bagi debitur yang melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut
:
o Debitur
wajib membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243
KUHPdt).
o Apabila
perikatan timbal balik, kreditur dapat menuntut pembatalan perikatan melalui
Hakim (Pasal 1266 KUHPdt).
o Dalam
perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadi
wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPdt).
o Debitur
wajib memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai
pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt).
o Debitur
wajib membayar biaya perkara, jika diperkarakan di Pengadilan Negeri dan
debitur dinyatakan bersalah.
III.
ANALISIS
Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus
ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi dari perjanjian-perjanjian
tersebut. Menurut pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam
perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang. Dengan demikian maka
setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam
Undang-undang, yang terdapat dalam adat kebiasaan, sedangkan
kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus diindahkan.
IV.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar